MENGKAJI MASA DEPAN KOMUNITAS ASIA Suatu Prediksi atas Kemajemukan Budaya Asia dalam Menciptakan Perdamaian Komunitas Asia
MENGKAJI MASA
DEPAN KOMUNITAS ASIA
Suatu Prediksi
atas Kemajemukan Budaya Asia dalam Menciptakan Perdamaian Komunitas Asia
Disusun Oleh:
SANTI RIZKI
SOPIANTI
NPM.
21021040063
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2016
Mengkaji Masa
Depan Komunitas Asia
Suatu Prediksi
atas Kemajemukan Budaya Asia dalam Menciptakan Komunitas Asia yang Damai
Abstrak
Terciptanya perdamaian adalah cita-cita seluruh bangsa
tidak terkecuali untuk bangsa-bangsa di Asia, berbagai usaha dilakukan untuk
mencapai cita-cite tersebut. Penulisan ini bersifat prediktif, yaitu
memprediksi tercapainya perdamaian Asia ditinjau dari seting sosiokultur
masyarakat Asia Tenggara. Asia Tenggara yang menempati 11 daerah teretori,
termasuk Timur Leste— kendati belum menjadi anggota ASEAN—merupakan masyarakat
yang sangat majemuk, tidak hanya dalam etnis, namun juga agama, ideologi dan
keyakinanya sangat beragam.
Kemajemukan yang sangat akut dalam etnis dan keyakinan
disinyalir memerankan fungsi memperlambat integrasi menuju komunitas kawasan
yang damai karena kemajemukan sendiri memicu terjadinya berbagai konflik. Berbagai
konflik terjadi di Asia Tenggara misalnya konflik antar etnis di Thailand dan
Filipina, keduanya merupakan manipestasi dari lemahnya institusi domestek
negara-negara yang ada di Asia Tenggara.
Oleh karena itu, menciptakan
perdamaian komunitas Asia, Asia masih
memerlukan kerja keras yang dimulai dari pemerintah domestik negara-negara yang
ada di Asia serta meninjau ulang keberadaan prinsip non-intervensi ASEAN yang
membatasi campur tangan negara lain.
Mengkaji Masa
Depan Komunitas Asia
Suatu Prediksi
atas Kemajemukan Budaya Asia dalam Menciptakan Perdamaian Komunitas Asia
Santi Rizki Sopianti
Konsep damai membawa konotasi yang positif; hampir tidak
ada yang orang yang menentang perdamaian; perdamaian dunia merupakan tujuan
utama kemanusisaan. Berbagai bangsa berduyun-duyung mendirikan organisasi untuk
menciptakan perdamaian, seperti berdirinya Uni Eropa. Eropa merupakan kawasan
yang ”kenyang” dengan perang. Dua perang dunia di abad dua puluh yang memiliki
efek global berporos di Eropa. Dengan melibatkan Inggris, US, AS, Cina, Jerman,
Itali, Jepang serta memporak porandakan tidak hanya Eropa namun juga Asia
Tenggara, Timur Tengah, Mediteriana serta Afrika, perang ini memakan korban hingga sedikitnya
50 juta jiwa. Selanjutnya perang yang
sedikit lebih kecil, perang dunia I (1914-1918) melibatkan Austria, Jerman, Turki,
Bulgaria, Rusia, Perancis, Inggris, Kanada, Italia, Amerika Serikat. Dengan
kerusakan parah yang tersebar di Eropa, Afrika, Timur Tengah, Kepulauan Pasifik
dan Cina. Sementara korban nyawa manusia tidak kurang dari angka 40 juta. Selain dua perang mematikan itu, perang
Napoleon (1799-1815) tak kalah mengerikannya. Daratan Eropa menjadi ajang
pertumpahan darah yang memilukan. 3.250.000-6.500.000 jiwa menjadi korban
perang ini dengan sedikitnya tiga negara terlibat, yakni Prancis, Inggris,
Rusia. Daratan Eropa menjadi ajang perang dunia I dan II yang merupakan perang
terbesar sepanjang sejarah umat manusia sehingga tak ayal jika pengaruh
psikologis yang dimunculkan perang Eropa terhadap semangat integrasi bangsa
Eropa sangat kuat. Semangat integrasi Eropa (yang juga bisa dimaknai sebagai
tingginya harapan untuk menghindari perang) bisa di lihat dari jumlah
organisasi regional yang ada di Eropa. Hingga, setidaknya, hingga tahun 1989
saja misalnya di Eropa ada sedikitnya 17 organisasi internasional yang
melibatkan 23 negara. Berdirinya Eropa Uni Eropa (juga tentunya organisasi-organisasi
regional lainnya) tidak terlepas dari tujuan utamanyanya yaitu menciptakan
perdamaian dengan menghindari perang dan mengukuhkan perkembangan demokrasi.
Tidak terkecuali bagi Asia yang juga sangat menginginkan
terciptanya perdamaian. Di Asia Tenggara sendiri sebelum kehadiran Prancis dan
Inggris, hubungan internasional diperankan oleh kerajaan-kerajaan. Di daratan
Asia tenggara, misalnya, ada kerajaan Vietnam, Siem (Thailand), Laos dan Khmer
(Kamboja). Dua yang pertama merupakan kerajaan yang progresif dan ekspansionis
sedang dua yang akhir merupakan kerajaan yang lemah dalam militer, walupun
demikian Khmer (Kamboja) memiliki wilayah yang luas dan berpenduduk paling
makmur. Sementara di daerah maritim ada kerajaan Sriwijaya yang bertempat di
Sumatra Selatan dan Majapahit di Jawa Timur. Sriwijaya bahkan merupakan
kerajaan yang maju perekonomian dan perdagangan sehingga tak heran
kerajaan-kerajaan besar seperti China tertarik untuk menjalin hubungan
dengannya. Setelah kedua kerajaan itu surut muncullah kerajaan Malaka yang juga
memiliki perekonomian yang kuat. Sementara di daratan, Khmer dengan kemakmuran
dan wilayahnya yang luas serta aksesnya ke laut membuat dua kerajaan
ekspansionis yang mengapit dari barat
dan timur, Siem dan Vietnam menjadi semakin agresif. Dari barat Siem berupaya
merebut daratan Khmer sementara Vietnam alih-alih membantu Khmer justru malah
menusuk dari arah timur. Kesempurnaan daratan Khmer ternyata belum cukup
memuaskan Siem, sehingga Shiem masih berupaya meluaskan ekspansinya ke barat
dengan menggempur Burma (Myanmar) dan ke selatan dengan menginvasi Malaka. Apabila ditinjau dari intensitas perang Asia
tidaklah seberat Eropa sehingga mungkin hal itulah yang membuat semangat
integrasi Eropa lebih kuat.
Walau begitu, bangsa Asia tetap berkeinginan kuat untuk
menciptakan perdamaian terbutkti dengan terselenggaranya petemuan para pemimpin
negara-negara ASEAN yang dimotori oleh bangsa-bangsa Asia Tenggara. Untuk
mengatasi perseteruan yag sering terjadi di antara negara-negara Asia Tenggara
dan membentuk kerjasama regional yang lebih kokoh, maka lima Menteri Luar
Negeri Indoneisa, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand mengadakan
pertemuan bangkok pada bulan Agustus 1967 yang menghasilkan rancangan Joint
Declaration, yang pada intinya mengatur tentang kerjasama regional di
kawasan tersebut. Sebagai puncak dari pertemuan tersebut, maka pada tanggal 8
Agustus 1967 ditandatangani Deklarasi ASEAN atau dikenal sebagai Deklarasi
Bangkok oleh perdana merangkap Menteri Luar Negeri Malaysia dan para Menteri
Luar Negeri dari Indonesia, Filipina, Singapura, dan Thailand. Brunei
Darussalam kemudian bergabung pada tanggal 8 Jauari 1984, Vietnam pada tanggal
28 Juli 1995, Laos PDR dan Myanmar tanggal 23 Juli 1997, dan Kamboja pada
tanggal 30 April 1999.
Deklarasi tersebut menandai berdirinya Perhimpunan
Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (Association
of South East Asian Nations/ASEAN). Masa awal pendirian Asean lebih
diwarnai oleh upaya-upaya membangun rasa saling percaya diri antar negara
anggota guna mengembangkan kerajasama regional yang bersifat koorporatif namun
belum bersifat integratif. Keamanan ASEAN adalah pilar pembangun organisasi ini
bersama kedua pilar lainnya, yaitu Masyarakat Ekonomi ASEAN dan Sosioal Budaya
ASEAN.
Banyak faktor yang berpengaruh terhadap tercapainya
perdamaian, seperti seting geografis, seting sosial budaya, seting intensitas
perang di masa lalu dan political will para
rezim berkuasa. Dari sekian banyak faktor, fokus pembahasan dalam esai ini
adalah apakah perdamaian komunitas Asia akan tercapai, mengingat budayanya yang
begitu majemuk?
Tulisan ini bersifat prediktif, meneropong masa depan
komunitas Asia khususnya mengenai cita-cita Asia yaitu terciptanya perdamaian
ditinjau dari sosial budaya Asia. Seberapa besar kemungkinan terjadinya
perdamaian di Asia?
Masyarakat Asia yang multikultur, multi ras, dan multi
agama memiliki potensi yang besar untuk terjadinya konflik antar bangsa.
Keberagaman budaya ini melahirkan perbedaan kepentingan, pandangan, nilai yang
akan menimbulkan perbedaan persepsi atas sesatu yang kemungkinan besar
menyebabkan munculnya reaksi berdasarkan persepsi tersebut. Hal ini dapat
menimbulkan konflik yang mungkin akan bermuara pada kerusuhan. Beberapa
peristiwa konflik antar kelompok, ras, dan agama menunjukan hal-hal
tersebut.
Kita akan memprediksi tercapainya perdamaian Asia melalui
multikulturalisme budaya di Asia Tenggara, mengapa begitu? Karena Asia Tenggara
merupakan bagian dari Asia. Asia Tenggara yang menempati 11 daerah teretori,
termasuk Timur Leste— kendati belum menjadi anggota ASEAN—merupakan masyarakat
yang sangat majemuk, tidak hanya dalam etnis, namun juga agama, ideologi dan
keyakinanya sangat beragam. Di kamboja ada suku Khmer, Tionghoa, suku Vietnam,
Cham; di Laos ada suku Lao, Lao Theung, Lao Soung; di Myanmar ada suku Burma,
Shan, Karen, Rakhine; belum lagi di Indonesia, Malaysia dan yang lain.
Demikian pula
agama di kawasan ini, begitu majemuk. Agama Buddha menjadi mayoritas di
Thailand, Myanmar, dan Laos serta Vietnam dan Kamboja. Agama Islam dianut oleh
mayoritas penduduk di Indonesia, Malaysia, dan Brunei. Agama Kristen menjadi
mayoritas di Filipina. Di Singapura, agama dengan pemeluk terbanyak adalah
agama yang dianut oleh orang Tionghoa seperti Buddha, Taoisme, dan
Konfusianisme. Belum lagi budaya yang hidup beriringan dengan mereka. Tidak
hanya sangat beraneka bentuknya namun juga sering sekali berkarekter
egosentrisme.
Kemajemukan yang sangat akut dalam etnis dan keyakinan
disinyalir memerankan fungsi memperlambat integrasi menuju komunitas kawasan.
Kendati gagasan ideal yang sering dikumandangkan adalah bahwa kemajemukan
seyogyanya tidak diidentikan dengan potensi konflik namun fakta menyuguhkan
betapa keberagaman budaya telah menciptakan fragmentasi masyarakat kawasan ini.
Brown (1988) dalam artikelnya “From
Peripheral Communities to Ethnic Nations: Separatism In Southeast Asia”,
menyebutkan beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya konflik etnis,
diantaranya: kesenjangan ekonomi, perpecahan budaya, entrepreunerialisme dari
para elit dalam suatu etnis, dan kebijakan-kebijakan pemerintah, dan kemandulan
militer suatu negara. Selain itu, Sulistyowati (2013), menyebutkan faktor lain
yang menyebabkan konflik etnis muncul, yaitu: adanya superioritas etnis
mayoritas terhadap etnis minoritas, agama, dan sejarah. Sedang di Asia Tenggara
sendiri, dengan sebagian besar negara-negaranya merupakan negara berkembang,
adalah kawasan yang pemerintahnya belum mampu memobilisasi kekayaan etnis yang
ada (Brown, 1988). Akibatnya, konflik etnis banyak bermunculan di hampir semua
negara di Asia Tenggara. Salah duanya adalah: konflik etnis di Filipina yang melibatkan
etnis Moro yang mendiami Pulau Mindanao, dan konflik etnis di Thailand yang
melibatkan etnis muslim Pattani.
Contoh konflik etnis yang disebutkan, keduanya merupakan
konflik yang menginginkan separatisme dari negara asal sebagai eskalasi akhir.
Sedang ide separatisme tersebut muncul bukan tanpa alasan melainkan adalah
sebuah reaksi dari aksi yang dilakukan oleh pemerintah pusat. Pemerintah pusat
dan kebijakannya dinilai terlalu membatasi dan mengintervensi otonomi daerah
suatu entitas etnis minor yang mendiami wilayah tertentu. Pembatasan dan
intervensi tersebut rupanya mendapat penolakan kaum elit dari etnis yang ada
karena dinilai sebagai bentuk marginalisasi. Kaum elit inilah yang kemudian
memobilisasi dan menjadi juru bicara etnisnya untuk melakukan penentangan
terhadap pemerintah pusat terkait kebijakannya yang dinilai dapat mengancam
eksistensi etnis. Dari sini muncullah wacana untuk memperjuangkan self
determination. Seperti tampuk pemerintahan Thailand yang dipegang etnis
Thai yang beragama Budha dan merupakan mayoritas terhadap etnis Pattani yang
beragama sebagian besar Islam dan merupakan minoritas. Sama halnya dengan
diskriminasi etnis Moro oleh pemerintah Filipina yang menuruti suara mayoritas
etnis Kristen (Brown, 1988).
Diskriminasi yang dilakukan pemerintah pusat masing –
masing negara, baik dalam kasus Moro maupun Pattani, keduanya termanifestasi
melalui kebijakan berupa wacana untuk mewujudkan monoteisme dalam
masyarakatnya. Seperti yang terjadi di Filipina, pemerintah berusaha untuk
mengkristenkan etnis Moro yang muslim serta menjadikan bahasa Tagalog dan
Ingrris sebagai bahasa wajib. Sedang di Thailand, pondok pesantren tidak
diperbolehkan dibuka, sarung yang selama ini identik dengan muslim dilarang
untuk dikenakan, dan diputuskannya hubungan antara kerajaan Kelantan (Malaysia)
dengan etnis Pattani melalui perjanjian Anglo-Siamese pada tahun 1909
(Brown,1988).
Perlakuan pemerintah ini justru memicu terjadinya konflik
etnis karena kaum minoritas merasa kebijakan pemerintah tersebut timpang dan
tidak pantas dilakukan karena sudah memasuki hal-hal yang seharusnya tidak bisa
dipaksakan oleh siapapun, yaitu keyakinan. Selain itu, etnis minoritas yang
umumnya tinggal didaerah periphery tersebut juga tidak menikmati
fasilitas dan mobilisasi yang sama terkait kebutuhan ekonomi dan infrastruktur
sebagaimana daerah metropolis yang umumnya dihuni oleh etnis mayoritas.
Akibatnya, kesenjangan ekonomi secara jelas terlihat antara etnis mayoritas dan
minoritas. Kesadaran akan pemerintahan yang ‘pilih kasih’ ini menyulut
pergerakan untuk mendapatkan kesetaraan hak serta kebebasan untuk
mempertahankan identitas etnis minor meskipun berbeda dengan etnis mayor
(Brown, 1988).
Menghadapi konflik yang terlanjur
mencuat ke permukaan tersebut, pemerintah pusat dari masing – masing negara
baik Thailand ataupun Filipina, mau tak mau harus melakukan pergerakan untuk
mengatasi konflik supaya tidak larut. Di Thailand, pemberontakan etnis Pattani
semakin memanas dengan terbentuknya PULO (The Pattani United Liberation
Organization) tahun 1968 dan GMIP (Gerakan Mujahidin Islam Pattani) tahun
1986. Menghadapi hal ini, yang dilakukan pemerintah Thailand adalah melakukan
perundingan dengan etnis Pattani. Sedangkan di Filipina, pemerintah pusat
mendirikan komisi khusus pada tahun 1957 untuk menyelesaikan konflik. Namun,
konflik etnis yang melibatkan etnis Moro ini baru bisa benar – benar ditekan
meski belum selesai sepenuhnya
Dari uraian diatas dapat disimpulkan
bahwa konflik etnis merupakan fenomena yang rentan terjadi di kawasan Asia
Tenggara yang tingkat heterogenitas etnisnya sangat tinggi. Untuk menghindari
konflik etnis tersebut, peran pemerintah sangatlah penting. Pemerintah harus
bisa menstabilkan heterogenitas yang ada dengan berlaku seobjektif mungkin
supaya tidak ada etnis yang merasa termarjinalkan. Contoh dari konflik etnis
yang terjadi di Asia Tenggara adalah yang melibatkan etnis Pattani di Thailand
dan etnis Moro di Filipina. Kedua konflik tersebut merupakan menifestasi dari
lemahnya institusi domestik negara – negara yang ada di Asia Tenggara.
Salah satu cara untuk menghindari lahirnya konflik etnis adalah dengan
mendewasakan pemerintahan domestik masing-masing negara. Selain itu, keberadaan
prinsip non-intervensi ASEAN yang membatasi campur tangan negara lain dapat dikaji ulang supaya bisa ikut
andil dalam mereduksi konflik. Karena prinsip non-intervensi ASEAN dirasa
terlalu membatasi fungsi ASEAN itu sendiri sebagai organisasi yang memayungi
negara-negara di Asia Tenggara. Mengkaji ulang di sini bukan berarti menghapus
tetapi mendefinisikan kembali ukuran dari kata “non-intervensi’ karena
terkadang dalam kondisi tertentu dibutuhkan pihak lain untuk membatu menemukan
suatu solusi untuk menghentikan konflik.
Nampaknya apabila melihat kemajemukan budaya di Asia
tenggara beserta konsikuensinya, kemungkinan terwujudnya komunitas Asia yang
damai dilihat dari perspektif seting budaya, Asia masih memerlukan usaha keras serta
siap untuk menjalani jalan terjal dan berkelok-kelok.
DAFTAR PUSTAKA
Supriadi, Dadang.
2009. Menuju Kehidupan Harmonis Masyarakat yang Majemuk. Tersedia: [online] http://journal.ui.ac.id/index.php/jki/article/viewFile/1254/1159 Diunduh pada Selasa, 31 Mei 2016 pukul 12.17 WIB.
Pramono, Sugiarto.
2010. Meneropong Masa Depan Komunitas ASEAN 2015. Tersedia: [online] http://listpdf.com/ke/keanekaragaman-budaya-negara-asia-tenggara-pdf.html Diunduh pada
Selasa, 31 Mei 2016 pukul 12.24 WIB.
Departemen
Perdagangan Republik Indonesia. Menuju ASEAN Economic Community. Tersedia:
[online] http://ditjenkpi.kemendag.go.id/website_kpi/Umum/Setditjen/Buku%20Menuju%20ASEAN%20ECONOMIC%20COMMUNITY%202015.pdf Diunduh pada
Selasa, 31 Mei 2016 pukul 12.31 WIB.
Wardani, Mustika
Kusuma. Konflik Etnis di Asia Tenggara. Menuju ASEAN Economic Community.
Tersedia: [online] http://mus-fisip10.web.unair.ac.id/artikel_detail-81840-Masyarakat%20Budaya%20Politik%20Asia%20Tenggara-Konflik%20Etnis%20di%20Asia%20Tenggara.html Diakses pada Rabu, 1 Juni 2016 pukul 01.04 WIB.
Comments
Post a Comment