Raja Media Massa
Teknologi
yang terus berkembang berpengaruh pada perkembangan teknologi informasi yang
membuat media massa berkembang pesat dan menjadi aspek penting dalam kehidupan
masyarakat modern. Beragam media massa baik yang termasuk media cetak maupun
media elektronik, seperti surat kabar, majalah, radio, televisi, komputer dan
internet; terlebih media internet dan televisi selalu ditemukan menemani setiap
detik kehidupan manusia modern. Persaingan ditengah-tengah kehidupan menuntut
ketajaman intelektual dan life skill sehingga
mendorong masyarakat modern untuk menggeruk ilmu pengetauhuan sedalam-dalamnya
dan seluas-luasnya. Media massa yang mampu mendobrak batas teritorial dan atau
budaya memberikan ilmu pengetahuan yang tiada batas, oleh karena kemampuan ini
masyarakat modern dan media informasi seolah menjadi pasangan berjodoh yang
tidak bisa dipisahkan. Bukan hal yang berlebihan kiranya apabila Pak Jalaludin
Rakhmat menyebut abad ke-21 sebagai abad komunikasi massa—manusia dapat bertukar
informasi tanpa dibatasi ruang dan waktu melalui media massa. Namun seperti
halnya sekeping koin yang memiliki dua sisi yang tak terpisahkan, media massa
memiliki sisi negatif dan positif yang mensyaratkan kebijaksanaan pengguna
dalam memanfaatkannya.
Salah
satu media massa yang paling berkuasa di dunia modern saat ini adalah televisi,
televisi telah menjadi raja media massa yang menggeser masa keemasan radio,
pengaruhnya merembes hingga ke segi kehidupan manusia yang paling sederhana;
orang tua sering menceritakan kebiasaan setelah adzan magrib di masa
kanak-kanaknya, mereka bercerita apabila adzan magrib berkumandang maka seluruh
keluarga akan pergi ke masjid dan beribadat dengan khidmat, namun yang terjadi
sekarang bukan begitu kenyataannya, orang tua dan anak-anak beramai-ramai
mengerumuni media masa elektronik berbentuk segi empat yang merupakan sistem
penyiaran gambar yang disertai dengan bunyi melalui kabel atau melalui angkasa
dengan menggunakan alat yang mengubah cahaya (gambar) dan bunyi (suara) menjadi
gelombang listrik dan mengubahnya kembali menjadi berkas cahaya yang dapat
dilihat dan bunyi yang dapat di dengar (Kamus Besar Bahasa Indonesia 2004,
2001:1162), televisi. Pa Jalal menyebutkan televisi telah menjadi the first God. Fiman Allah SWT dan hadist
Nabi Muhammad SAW kalah dari pesan-pesan yang dipropagandakan media televisi.
Lihatlah fenomena hijab modern yang ditampilan para artis TV saat ini, oleh
karena propaganda ini terkadang para muslimah tidak lagi mengindahkan firman
Allah SWT dan hadist Nabi SAW yang betujuan melindungi wanita dengan pakaian yang
sederhana dan menutupi aurat. Tidak ada salahnya memakai hijab dengan gaya
modis namun apabila berlebihan atau terlalu mengedepankan fashion hingga terdengarlah istilah jilboobs—memakai jilbab tapi tidak menutupi aurat yaitu masih
menonjolkan bagian tubuh tertentu yang mengundang gairah seksualitas, tentu
para hijabers ini tidak lagi melakasankan perintah Allah dan Nabi-Nya. Pada
fenomena ini pesan yang disampaikan Nabi Muhammad SAW yaitu hijab untuk
menutupi aurat kalah oleh pesan yang disampaikan televisi; hijab untuk tampil fashionable.
Begitu
kuat pengaruhnya, televisi terus berekspansi ke rumah-rumah kumuh di pinggiran
sungai di pinggiran kota hingga ke rumah-rumah setengah kandang domba di
perkampungan di kaki gunung. Televisi tersedia dalam harga yang variatif sehingga
lapisan masyarakat yang tinggal di perkampungan kaki gunung dengan pendapatkan
Rp. 25.000/hari upah buruh tani pun mampu memajang televisi keluaran terbaru di
ruang utama rumahnya, entah bagaimana mereka membeli mungkin memangkas ongkos
dapurnya. Memang keinginan membeli televisi jauh melampaui keinginan membeli
jenis media informasi lainnya terutama media cetak; buku, koran atau majalah,
terlebih di Indonesia yang kental akan budaya lisan. Media audio-visual ini memiliki kemiripan dengan budaya lisan sehingga
menjadi primadona keluarga Indonesia, yang mungkin juga karena tidak mensyaratkan
bermacam kompetensi seperti media cetak yang mensyaratkan kemampuan membaca dan
pengetahuan linguistik.
Televisi
yang memiliki kemampuan persuasif dan daya penetresi paling kuat diantara
deretan media informasi akan semakin kuat dan mampu membius dengan cepat
apabila berhadapan dengan penonton pasif
yang tidak menyikapinya dengan kritis dan tidak membandingkannya dengan sumber
informasi valid lainnya. Kehadiran televisi di tengah-tengah kehidupan
masyarakat Indonesia cukup menimbulkan kekhawatiran terhadap masa depan bangsa
pasalnya televisi merupakan media hiburan dan informasi yang sangat digemari
masyarakat Indonesia yang relatif masih tradisional—sekitar 60%-70% tinggal di
pedesaan, sebagian besar dari mereka tidak mengecap pendidikan dan kurang
memiliki ilmu pengetahuan yang mumpuni sehingga susah untuk melakukan filtrasi
dan menilai informasi. Mereka menelan bulat semua informasi yang disuguhkan dan
menilai televisi sebagai cermin yang memantulkan fenomena dunia
senyata-nyatanya. Apabila televisi sering menginformasikan tindak pelecehan
seksual maka masyarakat awam atau pencandu berat televisi akan menilai bahwa
orang-orang suka melakukan pelcehan seksual kemudian mereka akan melihatnya
sebagai sesuatu yang wajar, lebih jauh lagi mungkin mereka akan terdorong untuk
melakukan hal yang sama. Atau penyiaran berita yang terus-menerus menyudutkan
salah satu pihak, pemirsa televisi akan menilai pihak tersebut dengan kesan
yang negatif tanpa mencurigai adanya unsur kepentingan pribadi dalam penyaiaran
berita tersebut yang mungkin saja terjadi. Konon katanya salah satu tantangan
yang dihadapi para jurnalis adalah tawaran menggiurkan atau bahkan tekanan dari
pihak-pihak tertentu sehingga tak jarang fenomena ini menimbulkan perasaan
dilematis dibenak para jurnalis, mereka harus mempertimbangkan objektivitas
berita dan tawaran manis. Dalam ilmu komunikasi massa khususnya studi yang
berhubungan dengan efek media massa ada yang dinamakan teori agenda setting
yang dimulai dengan asumsi bahwa media massa menentukan berita yang akan
disiarkannya. Para gatekeepers seperti
penyunting, redaksi, bahkan wartawan sendiri memiliki peranan penting dalam
menciptakan realitas sosial ketika mengerjakan tugas dalam menyiarkan berita.
Penelitian
Garbner mengenai dampak televisi menemukan pecandu berat televisi di Amerika
mengatakan bahwa 20% penduduk dunia berdomisili di Amerika padahal faktanya
hanya 6% saja, media televisi menggiring khalayak untuk memersepsikan dunia
sebagaimana yang disiarkannya.
Tidak
ada permasalah pada fungsi televisi, yaitu sebagai media komunikasi, informasi,
hiburan dan edukasi, namun ketika media televisi berkembang menjadi industri
bisnis besar, tentu ada tuntutan lain dalam operasionalnya. Pertimbangan rasional
dalam konteks industri bisnis adalah keuntungan finansial. Media televisi
menggunakan ruang publik sehingga bisnis ini memiliki tanggung jawab publik.
Penggunaan ruang publik hanya untuk kepentingan publik, tidak patut apabila
dimafaatkan untuk kepentingan pribadi atau golongan tertentu. Bagi pengelola
penyiaran pertelevisian yang bertanggung jawab terhadap tuntutan moral dan
ahlak masyarakat tentu akan meyiarkan dan menyuguhkan program TV yang
konstruktif terhadap masa depan generasi muda. Sedangkan apabila media televisi
dibangun dengan orientasi laba finansial dan melupakan tanggung jawab sosial
akan memberikan kontribusi destruktif pada masa depan muda-mudi Indonesia.
Faktor
paling krusial dalam bisnis media televisi adalah iklan. Media massa termasuk
televisi mampu bertahan hidup dan berkembang apabila ada iklan, sehingga iklan menjadi
kejaran paling utama dalam bisnis media televisi. Untuk pengiklan sendiri tidak
datang menawarkan diri begitu saja, sebagai lembaga bisnis tentu mereka sangat
mempertimbangkan perihal keuangan. Penghasilan laba yang ditawarkan harus lebih
besar daripada dana yang kucurkan untuk iklan, oleh karena pertimbangan ini
pengiklan hanya mendaftarkan diri pada program TV yang memiliki rating tinggi. Sebagai konsekuensinya
para pemegang media televisi harus menelurkan program-program yang menarik
massa.
Selain
iklan, pertumbuhan media itu sendiri semakin memacu stasiun televisi untuk
menawarkan program-program yang menghipnotis ribuan pasang mata. Di awal
pertumbuhannya hanya ada beberapa saja seiring berjalannya waktu tumbuh hingga
belasan stasiun televisi. Kondisi ini
menciptakan persaingan ketat diantara stasiun televisi, mereka bagai kuda
pacuan, berlomba-lomba menyajikan program televisi ber-rating tinggi. Rating selalu
lebih mengedepankan kuantitas penonton daripada kualitas tayangan televisi. Kondisi
masyarakat Indonesia yang sebagian besar tidak bisa memilah dan lebih menyukai
program televisi yang hanya mengedepankan fungsi hiburan dibandingkan dengan
fungsi edukatif dan informatif mendorong para pengembang bisnis televisi untuk
menciptakan program serupa, hingga muncul di layar televisi program hiburan
yang pada intinya menciptakan tawa dengan saling mem-bully atau tarian yang mengekploitasi sensualitas tubuh wanita
hingga membangkitkan nafsu berahi diiringi nyanyian yang tidak jauh berbada dan
masih banyak prorgam hura-hura lainnya seperti kejahatan, kekerasan, dan
mistik. Tayangan seperti ini semakin hari semakin digemari sehingga rating semakin tinggi maka tidak ada
alasan untuk terus menayangkan dan mengeksploitasnya. Inilah kemudian yang menyerang
masa depan gemilang generasi muda Indonesia. Kira-kira bagaimanalah jadinya
masa depan bangsa apabila pemudanya hari ini terpedaya oleh hiburan yang
memorakporandakan cita-cita dan harapan.
Dalam
menyelesaikan perkara ini nampaknya membutuhkan kontribusi dari semua pihak;
para pemegang media televisi harus mempedulikan etika dan bertanggung jawab
menggunakan ruang publik, pemerintah harus bekerja keras memandori penyiaran pertelevisian,
khalayak penonton televisi harus lebih selektif memilih program dan dapat membimbing
anak-anak dalam menonton televisi. Sementara yang paling penting adalah menanamkan
pendidikan moral pada anak sejak kecil karena ini bersangkutan dengan masa
depan terlebih ketika masuk pada remaja karena pada masa inilah manusia berada
dalam fase paling agresif dalam meresepon perkembangan zaman khususnya
tayangan-tayangan televisi. Tentu kita tidak ingin kehilangan generasi muda
kita yang inspiratif dan berprestasi karena mereka menghabiskan banyak waktunya
di depan layar televisi yang menayangkan gambaran remaja yang selalu
bergelimang harta, selalu terlibat konflik dengan teman dan menyelesaikannya
dengan adu jotos, menjadikan pacaran bahkan hingga melewati batas sebagai menu
utama, gaya hidup glamour dan negatif
yang realitasnya hanya terjadi pada segelintir remaja. Sesungguhnya masih
banyak remaja yang memegang erat identitasnya sebagai bagian dari dunia timur dan
memiliki moralitas yang baik, hidup dalam kesederhanaan penuh kerja keras demi menciptakan
masa depan emas namun tidak terekspos di televisi. Tidak berlebihan rasanya
apabila banyak tudingan diarahkan pada media televisi sebagai penyebab meraknya
gaya hidup konsumeristik dan hedonistik. Para remaja telah memiliki
kemampuan berpikir yang relatif sempurna; mampu menaksir apa yang akan terjadi
serta dapat membedakan salah dan benar. Oleh karena itu alangkah baiknya remaja
memilih berlomba-lomba dalam kebaikan—#paradelombainspirasi #tulisan, memilih
gaya hidup yang membangun masa depan dan menjadikan televisi sebagai tontonan
selingan di sela-sela kesibukan mempersiapkan masa depan.
Ringkasan
Televisi
yang memiliki kemampuan persuasif dan daya penetresi paling kuat diantara
deretan media informasi akan semakin kuat dan mampu membius dengan cepat
apabila berhadapan dengan penonton pasif
yang tidak menyikapinya dengan kritis dan tidak membandingkannya dengan sumber
informasi valid lainnya.
Bagi
pengelola penyiaran pertelevisian yang bertanggung jawab terhadap tuntutan
moral dan ahlak masyarakat tentu akan meyiarkan dan menyuguhkan program TV yang
konstruktif terhadap masa depan generasi muda. Sedangkan apabila media televisi
dibangun dengan orientasi laba finansial dan melupakan tanggung jawab sosial
akan memberikan kontribusi destruktif pada masa depan muda-mudi Indonesia.
Sementara
kondisi masyarakat Indonesia yang sebagian besar belum bisa mengkritisi
informasi sehingga mereka menelan semua informasi yang siarkan tanpa memiliki
kecurigaan adanya faktor kepentingan pribadi di balik penyiarannya, dan lebih
menyukai program televisi yang hanya mengedepankan fungsi hiburan dibandingkan
dengan fungsi edukatif dan informatif mendorong para pengembang bisnis televisi
untuk menciptakan program serupa. Hingga muncul di layar televisi program
hiburan yang pada intinya menciptakan tawa dengan bully-an atau tarian yang mengekploitasi sensualitas tubuh wanita
hingga membangkitkan nafsu berahi diiringi nyanyian yang tidak jauh berbada dan
masih banyak prorgam hura-hura lainnya seperti kejahatan, kekerasan, dan
mistik. Tayangan seperti ini semakin hari semakin digemari sehingga rating semakin tinggi maka tidak ada
alasan untuk terus menayangkan dan mengeksploitasnya. Inilah kemudian yang
menyerang masa depan gemilang generasi muda Indonesia. Kira-kira bagaimanalah
jadinya masa depan bangsa apabila pemudanya hari ini terpedaya oleh hiburan
yang mengelabui.
Comments
Post a Comment