SOCIAL CHANGES IN ASIA: Mengkaji Dampak Perubahan Sosial di Asia yang Terjalin Untuk Menenun Permadani Asia Baru

SOCIAL CHANGES IN ASIA
Mengkaji Dampak Perubahan Sosial di Asia yang Terjalin Untuk Menenun Permadani Asia Baru

 








Disusun Oleh:

SANTI RIZKI SOPIANTI
NPM. 21021040063   



UNIVERSITAS PADJADJARAN
2018


Abstrack
The history of Asia in the past seven or eight decades has been one of the most dramatic transformations. In the middle of the last century, all the things seen from Asia were violence and chaos; prospects and futures are the most gloomy and uncertain. From the 1930s to the 1960s, many regions of Asia were caught in war, revolution, or famine, all this chaos almost paralyzed any prospect of economic development. However, during this period of war and despair, another revolution began to take place in Asia, something that continues into the next forty years and generates a rate of economic growth that will bring East and Southeast Asia in the fastest revenue ramp. But when the attention of the world and Asia is focused on economic growth, there is a larger and more fundamental question raised about the broader dimension of development. Most obviously, Asia's transformation of economic uncertainty into financial excellence is bound to change the way of life and goals of Asians. How does wealth affect the lives of Asians, how does its growth strategy, its attention to education, state action and market economy affect and transform individuals and society. What significant and fundamental changes are emerging from the new economic forces, and how are these changes 'intertwined for the New Asian tapestries.' This essay tries to talk about social change taking place in Asia and examines its impact on urbanization and urban growth, the growth of middle class, the evolving status of women, the presence of threatened families, and the role of religion.
Keyword: Asia, East Asia, South Asia, Southeast Asia, Social Changes in Asia


SOCIAL CHANGES IN ASIA
Mengkaji Dampak Perubahan Sosial di Asia yang Terjalin Untuk Menenun Permadani Asia Baru

Santi Rizki Sopianti
Program Studi Ilmu Perpustakaan
Fakultas Ilmu Komunikasi

PENDAHULUAN

Sejarah Asia dalam tujuh atau delapan dekade terakhir telah menjadi salah satu transformasi yang sangat dramatis. Sampai krisis keuangan baru-baru ini, peningkatan ekonomi di kawasan Asia dari pemain miskin hingga pemain utama, sepanjang masa satu generasi, tidak kalah ajaibnya. Oleh karena itu, bukan hal yang berlebihan apabila istilah ‘Asian Miracle’ menjadi istilah yang paling sering digunakan untuk menggambarkan kisah sukses kawasan Asia. Namun, bagi mereka yang ingin mengetahui sejarah perjalanan sukses Asia, ada satu hal yang perlu dikatakan bahwa sejak setengah abad yang lalu, kawasan ini memang siap untuk lintasan pertumbuhan dan perkembangan. Di pertengahan abad yang lalu, semua hal yang tampak dari Asia hanyalah kekerasan dan kekacauan; prospek dan masa depannya paling suram dan tidak pasti.  Dari tahun 1930-an hingga 1960-an, banyak wilayah di kawasan Asia yang terjebak dalam perang, revolusi, atau kelaparan. China, selama periode itu, harus bertahan dalam tiga kekacauan ini.  
Tahun 1945, negara paling modern dan progresif di Asia yaitu Jepang, dijatuhi bom atom di kota Hirosima pada tanggal 6 Agustus, lalu tiga hari kemudian bom atom kembali meledak di kota Nagasaki, akhirnya pada tanggal 14 Agustus 1945 Kaisar Hirohito menyerah kepada sekutu, hal ini menjadi tanda runtuhnya pertahanan Jepang dalam Perang Pasifik dan runtuhnya sistem monarki di Jepang. Keadaan Jepang pada saat itu benar-benar hancur, dan kemalangan Jepang tidak hanya sampai di situ, setelah kalah dalam Perang Pasifik, kemudian Jepang dicengkram oleh kebijakan Amerika Serikat yang menambah kesengsaraan Jepang dan menimbulkan kekacauan dalam berbagai bidang, ini terjadi selama pendudukan Amerika Serikat di Jepang pada tahun 1945 sampai 1952. Kegaduhan juga terjadi di China, pada tahun 1946-1949 tercetus perebutan tahta oleh Partai Komunis China dari kerajaan Koumintang, perang saudara ini menimbulkan kekacauan dalam berbagai bidang dan menumbangkan jutaan nyawa. Begitu pun dengan Semenanjung Korea, terjerumus dalam peperangan yang berlangsung selama tiga tahun (1950-1953). Konflik yang dilatarbelakangi perbedaan ideologi dan isu perbatasan ini telah menjadi  awal mula terpecah belahnya Korea menjadi dua bagian yakni Selatan dan Utara.
Sejarah Asia Tenggara juga tidak jauh berbeda. Konflik Indo-China berlangsung lama dari tahun 1945 sampai 1980 yang melibatkan bangsa Francis dan Amerika. Di Indonesia, sebuah kudeta yang gagal pada tahun 1965 menyebabkan pertumpahan darah yang menewaskan ratusan ribu orang. Kemudian pada tahun 1970-an timbul kudeta militer yang dilakukan oleh Jendral Lon Nol di Kamboja yang menybabkan Khmer Merah semakin mendapat simpatisan dan sekaligus menegaskan status mereka sebagai penguasa baru, semasa rezim ini berkuasa, sekitar 1/5 rakyat Kamboja harus tewas akibat kombinasi dari bencana kelaparan, penyakit, dan pembantaian sistematis, di sisi lain Kmer Merah juga sangat gencar mengincar dan memberantas para intelektual di negaranya. Khmer Merah mencoba mengubah Kamboja menjadi negara pertanian murni dengan cara memaksa jutaan rakyatnya menjadi buruh tani, dan menolak penggunaan teknologi modern supaya bisa menjadi negara mandiri yang tidak tergantung pada dunia luar.
Peperangan, ketidakstabilan politik dan kekacauan sosial yang melanda kawasan Asia sampai tahun 1960-an hampir melumpuhkan setiap prospek pembangunan ekonomi. Bahkan Jepang, negara terkaya di Asia yang telah melakukan moderenisasi selama hampir satu abad, hanya bisa membanggakan pendapatan per kapita yang seperdelapan dari jumlah penduduk Amerika. Korea Utara dan Taiwan tidak jauh lebih baik dari kekayaan negara Afrika.
Namun, selama periode peperangan dan keputusasaan ini, revolusi lain mulai terjadi di Asia, sesuatu yang berlanjut hingga tiga puluh tahun ke depan dan menghasilkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang akan membawa Asia Timur dan Asia Tenggara dalam kenaikan pendapatan tercepat. Jepang memimpin dalam pertumbuhan ekonomi di Asia, sejak tahun 1960-1965, Jepang memasuki periode pertumbuhan yang pesat. Infrastruktur ekonomi secara aktif mulai dikembangkan untuk mendukung industri yang dijalankan. Jepang mampu bangkit kembali dalam waktu relatif singkat, negara-negara lain seperti Jerman dan Italia selaku negara yang kalah dalam Perang Dunia II, mengalami masa-masa sulit berkepanjangan dan membutuhkan waktu lama untuk bangkit kembali, pertumbuhan ekonomi Jepang ini berpengaruh terhadap keseimbangan dalam sistem pemerintahan Jepang. Dalam dua dekade berikutnya, Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong, dan Singapura menyusul, urutan ekonomi masing-masing negara meningkat dua kali lipat setiap delapan tahun, dari tahun 1960 sampai 1985. Momentum di kawasan Asia semakin meningkat, negara-negara lain pun segera menyusul kebangkitan negara-ngara ini—Malaysia, Thailand, China, dan Indonesia—semuanya mulai menarik diri dari keterpurukan pada akhir tahun 1970-an. Kemudian pada tahun 1990an, perekonomian negara ini—Korea Selatan, Taiwan, Malaysia, China dan Indonesia—termasuk diantara tiga belas negara di dunia yang paling sukses meningkatkan pendapatan rill dalam tiga puluh tahun terakhir. Apa makna prestasi ini? Makna prestasi yang sebenarnya adalah bahwa dalam kurun waktu dua puluh tahun, antara tahun 1970 dan 1990, jumlah orang yang sangat miskin di Asia Timur menurun dari 400 juta orang menjadi 180 juta orang—sungguh pertumbuhan ekonomi terbesar dalam sejarah. Seperti yang dicatat oleh seorang penulis “pada tahun 1990, hanya sepuluh persen orang Asia Timur yang hidup dalam apa yang disebut kemiskinan absolut, dibandingkan dengan seperempat orang Amerika Latin, setengah dari orang Afrika hitam. Dan ini mulai menyebar ke Asia Tenggara dengan hasil yang luar biasa”.
Angka statistik pertumbuhan dan transformasi Asia benar-benar mengejutkan. Sebuah majalah besar Asia mengatakan jutaan orang dalam satu generasi terangkat dari kemiskinan dan kekayaan milyaran dolar tercipta di setiap tahun. Lonjakan ekspor Asia juga tidak kalah menakjubkannya, kurang dari satu per tujuh dari total ekspor dunia pada awal tahun 1970-an hingga hampir tiga puluh persen di akhir tahun 1990an. Dengan penghematan besar yang bisa menghasilkan sumber modal investasi terbesar di dunia, keseimbangan ekonomi mulai bergeser ke arah timur. Ukuran cadangan resmi yang dimiliki oleh sepuluh pemegang devisa Asia terbesar pada akhir tahun 1994 dimiliki oleh: Jepang, Tiwan, Singapura, China, Hong Kong, Thailand, Malaysia, India, Indonesia dan Filipina, kemudian bertambah hingga US $457 miliar—lebih dari 40 persen dari total dunia. Kisah sukses ekonomi naga dan harimau di Asia Timur dan Asia Tenggara tampaknnya menggembar-gemborkan munculnya dunia yang berani, baru dan sukses secara ekonomi yang terpusat di Asia.
Sementara perhatian dunia dan Asia terfokus pada pertumbuhan ekonomi, sekarang ada pertanyaan yang lebih besar dan lebih mendasar yang diajukan mengenai dimensi pembangunan yang lebih luas. Yang paling jelas, tranformasi Asia dari ketidakpastiaan ekonomi menjadi keunggulan finansial pasti akan mengubah cara hidup dan tujuan orang Asia. Bagaimana kekayaan mempengaruhi kehidupan orang-orang di Asia? Bagaimana startegi pertumbuhannya, perhatiannya pada pendidikan, kebijakan negara dan ekonomi pasar, mempengaruhi dan mengubah individu dan masyarakat? Hasil pengamatan segera menunjukan bahwa ‘kemajuan ekonomi...adalah kekuatan penting yang membentuk suatu kawasan... juga memperngaruhi perubahan politik dan sosial’. Perubahan signifikan dan medasar apa yang muncul dari kekuatan ekonomi baru, dan bagaimana perubahan-perubahan ini ‘terjalin untuk menenun permadani Asia Baru?’ Essay ini mencoba berbicara tentang perubahan sosial yang terjadi di Asia dan mengulas beberapa dampaknya terhadap wilayah dan masyarakatnya.

URBANISASI DAN PERTUMBUHAN PERKOTAAN

Walaupun pedesaan masih mendominasi lanskap fisik Asia, pertumbuhan kota barangkali menjadi salah satu transformasi fisik yang paling terlihat dan signifikan yang telah mucul di kawasan Asia dalam empat dekade terakhir. Sebuah penelitian menunjukan bahwa pusat-pusat perkotaan tumbuh dengan kecepatan tinggi di Asia. Pada tahun 1970, Asia memiliki delapan pusat kota yang berpenduduk lebih dari lima juta orang. Dua puluh tahun kemudian, ada 31 pusat kota semacam itu, dan diperkirakan pada tahun 2020, kota-kota metropolitan di Asia akan menjadi rumah bagi 2.4 miliar penduduk. Hampir setengah negara-negara di Asia telah mengikuti tren ini. Di Malaysia, misalnya, tiga perempat penduduknya tahun 1970-an tinggal di pedesaan. Pada tahun 1990-an, hampir lima puluh persen penduduknya adalah penduduk kota. Seperti yang diperkiran oleh seorang menteri di Asia, “urbanisasi dalam skala ynag belum pernah terjadi sebelumnya akan berlangsung di seluruh Asia, yang melibatkan dua miliar orang”.
Pertumbuhan kota membawa serta perubahan sosial yang sepadan—munculnya teknologi modern, dan masyarakat kelas menengah yang sedang berkembang, keduanya didorong oleh kemajuan dengan apa yang disebut ‘economic boom’ (ledakan ekonomi). Gedung pencakar langit yang membentang dari Beijing sampai Jakarta adalah simbol munculnya Asia dan mewakili kemajuan kota, modernitas dan keadaan yang baik. Namun sebagaimana hukum alam berlaku, selalu ada sisi positif dan negatif yang timbul dari suatu perubahan, ada sisi lain yang muncul dari pertumbuhan kota di Asia yang tiada henti. Daya tarik kehidupan modern merembes hingga ke pedesaan, pusat-pusat kota menggunakan undian magnetik yang tidak dapat dielakan oleh para petani yang berusaha melepaskan diri dari kekerasan di ladang. Pemukiman kumuh kemudian muncul sebagai wajah modernitas dan perkembangan.  Diperkirakan saat ini, ada 13 kota di Asia yang memiliki populasi lebih dari sepuluh juta jiwa, menciptakan masalah yang tidak pernah terjadi sebelumnya, membuat para perencana penataan kota menjadi kebingungan. Dan saat kota-kota sedang bergegas mengatasi arus masuk orang-orang dari daerah pedesaan, dengan cepat kota meluas hingga ke wilayah pinggiran dan dengan demikian terjadilah pembangunan perkotaan yang tidak manusiawi. Sepeti yang diamati oleh sebuah jurnal ternama di Asia:
Masuknya orang-orang yang menjadi pegawai pabrik dan kantor membuat jalan menjadi penuh sesak, kereta api, bis, jaringan listrik, sekolah dan sistem sanitasi menjadi penuh sesak.  Pembangunan yang tidak terencana telah banyak menciptakan pemandangan buruk, dan daerah hijau telah berganti menjadi hutan aspal. Sebagai tempat dimana beragam orang bergabung, daerah perkotaan juga terkadang mengalami gangguan inkubasi: seperti yang terjadi di Karachi.
Masalah yang terkait dengan pesatnya laju urbanisasi paling banyak terlihat di kota-kota Asia Selatan. Di Bangladesh, misalnya, tingkat urbanisasi sangat tinggi, sekitar tujuh persen per tahun. Hal ini telah meningkatkan populasi perkotaan di Bangladesh meningkat secara signifikan, sekitar seperempat dari keseluruhan populasi. Faktor penggerak utama dalam urbanisasi di negara-negara ini adalah migrasi penduduk pedesaan—terutama disebabkan oleh faktor kemiskinan di pedesaan dan faktor daya tarik (harapan kesempatan kerja di kota). Pertumbuhan penduduk miskin kota, dan perkembangan pemukiman kumuh dan pemukiman liar, telah menyebabkan kemunduran lingkungan fisik. Seringkali, masyarakat miskin kota terpengaruh oleh air kotor, fasilitas sanitasi yang tidak memadai, pengumpulan dan pembuangan limbah padat dan beracun yang tidak mencukupi, dan polusi udara.
Masalah urbanisasi dan pertumbuhan kota tidak hanya menimpa negara-negara berkembang yang miskin. Masalahnya sama parahnya dengan negara ekonomi naga. Berikut adalah laporan dari Lembaga Kebijakan Lingkungan dan Sosial di Korea:
Seoul memiliki 12 juta orang, seperempat dari populasi Korea, seperempat dari uversitas Korea, dan menghasilkan 40% pajak nasional. Seoul adalah jantung dan otak Korea untuk fungsi ekonomi dan pasar. Seoul memiliki sejarah 600 tahun sebagai ibu kota; Namun kota raksasa ini memiliki karakterisitik pertumbuhan ekonomi nasional yang sangat pesat yang hanya dicapai dalam waktu 30 tahun, vitalitas kota yang sedang boomimg dan situasi yang membingungkan. Dalam satu generasi, penduduk Seoul telah berkembang hingga tiga kali lipat, jumlah mobl meningkat 160 kali lipat. Karena sebagian besar sumber daya ekonomi dan budaya terkonsentrasi di Seoul, kebijakan pemerintah untuk desentralisasi penduduk tidak banyak membantu. Selama pertumbuhan pesat ini, masalah perkotaan yang tidak terkendali telah muncul. Dalam situasi ini, penataan kota di Seoul akan difokuskan pada perluasan fasilitas kota. Sejumlah besar sumber daya dan perencanaan tata laksana dicurahkan untuk membangun infrastruktur, termasuk rumah, sekolah, jalan, saluran air dan limbah...(dan ini) telah membuat  kota yang padat menjadi semakin padat, dan masyarakat kota kelas miskin terpinggirkan sepeti di kota-kota Asia lainnya.
Masalah yang terkait dengan urbanisasi sangatlah banyak, dan banyak diantaranya adalah masalah urbanisasi yang sangat parah. Namun, di seantero Asia, meski bermasalah, trennya tidak dapat diubah lagi. Bukan saja kehadiran fisik kota menjadi semakin nyata, tapi juga budaya urban, yang manifestasi utamanya adalah munculnya teknologi modern, ledakan informasi, dan kemunculan kelas menengah yang berkembang pesat yang sedang menenun permadani Asia Baru.

PERTUMBUHAN MASYARAKAT KELAS MENENGAH

Gap antara mayarakat miskin dan kaya selalu terlihat ekstrim di Asia. Namun, dalam empat dekade terakhir, proses pertumbuhan ekonomi berorientasi pada ekspor yang terus berkembang dan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang meluas di masyarakat kelas menegah, dan jelas di lapisan sosio-ekonomi inilah yang akan menentukan arah masa depan sosial, ekonomi dan politik kawasan Asia. Sebagai permulaan, kelas menengah mewakili kemenangan kapitalisme atas sosialisme dan komunisme di Asia. Di seluruh Asia, mungkin dengan pengecualian di Korea Utara, semua negara telah menjalankan perdagangan begaya Amerika dan liberalisasi yang terus berlanjut telah menjadi cara yang sangat disukai untuk menajalankan bisnis. Sekitar 200 juta jiwa masyarakat kelas menengah di India yang merupakan sepuluh kali lipat populasi Malaysia, telah memberikan dorongan serta pangsa pasar yang diharapkan pemerintah India akan dapat menarik investor ke negaranya. Di India, seperti di negara lainnya, kelas menengah yang berkembang telah menjadi mesin utama untuk pertumbuhan budaya konsumen seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk kota yang mapan yang menginginkan barang konsumsi seperti pakaian, jam tangan mewah dan perlengkapan hidup modern lainnya. Pertumbuhan dramatis dan perkembangan jumlah masyarakat kelas menengah mestilah menciptakan beberapa peluang finansial terbesar dalam sejarah. Bayangkan satu miliar orang Asia—itulah perkiraan jumlah masyarakat kelas menengah dari keseluruhan populasi yang kemungkinan akan terus bertambah hingga mencapai 3.2 miliar pada awal milenium ini (kira-kira jumlah populasi gabungan Amerika dan Eropa Barat pada tahun 1995)—memiliki daya beli konsumen yang memungkinkan mereka membeli setidaknya barang dasar seperti televisi berwarna, lemari es, dan sepeda motor. Diperkirakan bahwa 400 juta konsumen ini—tiga kali lebih banyak spada tahun 1990-an—akan memiliki pendapatan yang bisa diguanakn untuk membeli rumah, mobil, perawatan kesahatan dan pendidikan. Dan bukan hanya barang konsumsi yang akan sangat laku, seperti yang diamati oleh seorang pengamat; “jika semua pengeluaran konsumen ini terus berlangsung, investasi modal besar dalam peralatan dan infrastruktur juga akan sangat dibutuhkan: pabrik, pembangkit listrik, jalan, kereta api, bandara, pelabuhan dan jaringan telekomunikasi”.
Namun di sisi lain pertumbuhan kelas menengah di Asia membawa banyak masalah juga. Kemacetan lalu lintas dan polusi udara terjadi dimana-mana di seluruh kota di Asia, karena banyaknya jumlah mobil dan bentuk kendaraan bermotor lainnya yang tidak terkendali. Masalah lingkungan lainnya adalah pembuangan limbah padat yang tercipta karena lebih banyak orang yang memiliki uang lebih untuk dibelanjakan pada barang konsumsi. Begitu pun dengan masalah kesehatan, tidak terlepas dari masalah pertumbuhan kelas menengah ini, beberapa penyakit yang muncul seiring dengan pertumbuhan kelas menengah di Asia diantaranya; obesitas, penyakit jantung, diabetes, kolesterol, dan lain-lain.

KEBANGKITAN STATUS PEREMPUAN

Dengan pertumbuhan ekonomi, urbanisasi dengan perubahan norma dan adat istiadat yang bersamaan, posisi perempuan di Asia juga telah mengalami perubahan yang signifikan. Hal ini terbukti terutama di tempat kerja, dimana jutaan wanita tidak hanya terlihat berpartisipasi melainkan juga turut mempengaruhi. Sebuah penelitian menyatakan bahwa di Asia Tenggara saja, telah terjadi peningkatan partisipasi wanita hingga 15% dalam angkatan kerja sejak  tahun 1970. Perempuan Asia menjadi lebih percaya diri, ambisius, tegas, dan telah membuat terobosan signifikan hingga ke bidang pekerjaan yang secara tradisional didominasi oleh laki-laki. Di Singapura, jumlah manajer wanita meningkat tiga kali lipat dalam kurun waktu satu dekade, tahun 1990 sampai 2000-an. Dan di Thailand jumlahnya telah meningkat lima kali lipat sejak dua puluh tahun yang lalu. Keunggulan wanita Asia dalam politik diwakili oleh Indira Ghandi, Corazon Aquino, Benazir Bhutto, Chandrika Kumaratunga dan Khaledia Zia—mereka menunjukan bahwa wanita Asia telah melakukan terobosan signifikan di bidang yang biasnya didominasi oleh laki-laki. Namun demikian, masih banyak masalah keterbelakangan wanita lainnya, khususnya di Asia Selatan, perempuan masih menghadapi perjuangan berat dalam memperjuangkan hak-hak mereka.

STRUKTUR DAN HUBUNGAN KELUARGA YANG TERANCAM

Kekuatan budaya tradisional tetap kuat, tetapi konflik sosial yang disebabkan modernisasi juga mencengkram kawasan Asia dan mulai mengancam struktur keagamaan dan sosial tradisional. Salah satu lembaga yang paling rentan terancam adalah keluarga. Dengan tantangan yang ditimbulkan oleh pertumbuhan ekonomi, urbanisasi dan meningkatnya jumlah perempuan yang semakin banyak bekerja, keadaan keluarga besar tradisional menjadi terjadi terancam. Semakin banyak, terutama di perkotaan, di Asia keluarga besar telah digantikan oleh keluarga inti, dan fenomena ini sama banyaknya dengan hambatan ruang yang disebabkan oleh westerenisasi. Di kota-kota padat seperti Singapura, Hong Kong dan Tokyo, dimana perumahan menjadi pusat perhatian bagi kebanyakan pasangan muda yang akan memulai sebuah keluarga, opsi untuk tinggal di flat kecil bukanlah pilihan yang menarik. Perempuan yang semakin independen dan memiliki hak pendidikan yang sama cenderung menunda pernikahan dan mengutamakan karir, dan banyak dari mereka yang menganggap tinggal dengan mertua bukan lagi sebagai kewajiban sosial. Dalam sebuah penelitian tentang pola perkawinan di Jepang telah menemukan fakta bahwa wanita muda Jepang sering memilih untuk tidak menikahi anak laki-laki tertua, karena hal tersebut memungkinkan mereka untuk tinggal bersama ibu mertua. Telah ada kecenderungan yang dapat dilihat bahwa tingkat “singlehood” di kota-kota metropolitan Asia semakin meningkat, karena banyak perempuan yang menunda pernikahan dan lebih mengutamakan mengejar karir dari pada berkeluarga. Semakin lama, tempat kerja telah menggantikan pernikahan dan kehidupan keluarga.
Dalam masyarakat yang semakin terbuka dan bergerak cepat, keluarga inti juga menjadi terancam, terutama akibat konflik perkawinan dan perpisahan, kesulitan keuangan, perzinaan dan kenakalan remaja. Komitmen terhadap keluarga semakin mengkhawatirkan, terlihat dari banyaknya perceraian dan pemberontakan remaja. Perkembangan lembaga kesejahteraan dan rumah untuk orang tua membuktikan melemahnya unit terkecil dari masyarakat yaitu keluarga. Belum lama ini, sebagai pengakuan atas kekhawatiran orang tua yang terbengakalai, pemerintah Singapura mengumumkan undang-undang yang memungkinkan orang tua untuk menuntut dukungan finansial dari anak-anaknya yang sudah dewasa.

PERAN AGAMA

Menariknya, sebagai kawasan yang sedang bergulat dengan modernisasi, pertumbuhan dan perubahan sosial, agama telah menegaskan dirinya sebagai modernisasi dan materialisme bertentangan dengan nilai dan kepercayaan. Dengan kata lain, agama telah menjadi semakin kuat selama perkembangan ekonomi di Asia, kultus agama terus menarik ratusan ribu pengikut. Seorang akademisi Amerika menejelaskan kebangkitan agama di Asia sebagai berikut:
[agama] membantu orang berpegang pada nilai tradisional mereka, seraya membantu mereka mengatasi tuntutan kenyataan ekonomi baru yang memilukan yang telah mengubah masyarakat kota yang statis menjadi kota-kota besar yang berdenyut.
Sebuah studi yang dilakukan di Burma untuk menggambarkan dasar pemikiran negara-negara Asia Tenggara dalam memilih negara sekuler menyatakan,  tampaknya Burma telah mengkonfirmasi dakwaan Gunnar Myrdal terhadap agama di bagian Asia sebagai "kekuatan yang luar biasa untuk inersia sosial" dan dengan demikian menjadi penahan laju modernisasi di kawasan ini. Ringkasan survei tentang pandangan negara-negara di Asia Tenggara yang bervariasi dalam konteks agama, tampaknya mengkonfirmasi pendapat penelitian yang dilakukan di Burma ini, yang secara dramatis dicontohkan di Burma-bahwa jika negara-negara Asia Tenggara "dimodernisasi," juga demikian "sekularisasi" itu sendiri, akankah tujuan atau sasaran modernisasi dapat direalisasikan.

PENUTUP

Pengamatan apa saja yang bisa dilakukan seseorang tentang perjalanan Asia di abad yang lalu? Jelas, Asia saat ini adalah dunia dimana perjuangan ideologis telah membawa Asia pada pergaulan pasar global, Asiaweek menyebutnya “the end of politics”. Sekarang, perekonomian di Asia adalah kekuatan yang terus bergerak. Orang Asia saat ini tidak lagi berbicara tentang anti-kolonialisme, nasionalisme dan komunisme; pembahasan yang dibicarakan orang Asia saat ini adalah membangkitkan globalisasi, membangun ruang personal, menciptakan peluang dan menciptakan kerajaan bisnis demi masa depan yang mapan secara finansial.
Namun, ini tidak berarti orang Asia, terutama kaum mudanya, apatis secara politis, dan acuh tak acuh terhadap urusan sipil. Aktivisme sosial dan politik sangat hidup dan banyak organisasi non-pemerintah yang berkomitmen terhadap isu lingkungan, membantu masyarakat miskin dan mengendalikan penyebaran AIDS telah berkembang secara signifikan. Menariknya, LSM terbesar di Korea Selatan adalah Koalisi Warga untuk Keadilan Ekonomi yang beranggotakan 70.000 anggota, dan tugasnya adalah untuk membantu mewujudkan transparansi yang lebih besar terhadap sistem politik negara tersebut dengan menghasilkan serangkaian data yang komprehensif mengenai kegiatan tersebut.
Orang Asia muda tidak lagi puas menyamakan modernitas dengan menjadi pengikut budaya Barat. Masyarakat kelas menengah Asia mulai mencari identitas dirinya sendiri, mencari cara baru untuk memahami siapa mereka, dan memanfaatkan budaya mereka sendiri untuk membangun citranya. Dari dunia hiburan hingga fashion dan desain, mulai dari politik hingga sastra dan seni, orang Asia memamerkan rasa diri yang semakin modern dan intelektualitas yang tinggi. Krisis ekonomi mungkin merupakan kemunduran besar, dan di negara-negara seperti di Indonesia, mungkin sudah bertahun-tahun sebelum kembali stabil, tapi pasti, bagi Asia, sebuah dunia lama telah terlahir kembali menjadi dunia baru.


DAFTAR PUSTAKA

ALFREDO G, PARPAN, S.J. t.thn. “MODERNIZATION AND THE SECULAR STATE IN SOUTHEAST ASIA .” 245-255. http://www.asj.upd.edu.ph/mediabox/archive/ASJ-10-02-1972/parpan-modernization%20secular%20state%20southeast%20asia.pdf
Angga Asitama P, et al. 2012. KONFLIK DI SEMENANJUNG KOREA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEAMANAN INTERNASIONAL. Artikel Ilmiah, Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
Arland Thornton, Thomas E. Fricke. 1997. “Social Change and the Family: Comparative Perspectives from the West, China, and South Asia .” SociologicaFl orum Volume 2 Number 4 746-779.
Edwards, Charles Hirschman and Jennifer. t.thn. “Social Change in Southeast Asia.” George Ritzer, ed. The Blackwell Encyklopedia of Sociology Vol. 9:4374-4380 4374-4380.
Kamarudin, Aisha Bibi Binti. 2015. “Sejarah Tercetusnya Perang Saudara di China (1946-1949).” E-Proceeding of the International Conference. Kuala Lumpur: Universiti Malaya. 715-719.
2015. Khmer Merah, Kelompok Penuh Darah dari Kamboja. 25 September . Diakses Februari 26, 2018. http://www.re-tawon.com/2015/09/khmer-merah-kelompok-penuh-darah-dari.html.
Teguh Prasetiyo, et al. 2015. “Kebangkitan Jepang Pasca Pendudukan Amerika Serikat Tahun 1952-1964.” Artikel Ilmiah Mahasiswa 1-12.
Yong, Tan Tai. 2001. “Social Changes in Asia.” Social Changes in Asia and Europe in the Age of Globalisation, Desember : 13-20.

2005. “Youth in Transition: The Challenges of Generational Change in Asia.” Proceedings of the 15th Biennial General Conference. Canberra: Association of Asian Social Reseach Councils. Fay Gale, Stephanie Fahey.

Comments

Popular posts from this blog

10 Potret Mama Rieta dan Suami, Kakek Nenek Rafathar yang Selalu Mesra

Gemas Nan Memikat! 10 Potret Adu Gaya Amora dan Arsy saat Acara Resmi

9 Potret Stylish Dian Pelangi Momong Bayi, Desainer Top Emang Beda!